Ilustrasi partai politik

Wacana pemilu 2024 kembali ke sistem proporsional tertutup menguat dan memicu kontroversi setelah masuknya gugatan UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK), Sejumlah partai politik menyampaikan sikapnya menghadapi wacana coblos gambar partai di kertas suara pada Pemilu 2024.

Sebanyak lima pemohon dari latar belakang berbeda mengajukan gugatan ke MK pada oktober lalu. Mereka menilai frase terbuka pada pasal 168 ayat 2 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Perlu diketahui sistem proporsional tertutup memiliki karakteristik pada konsep kedaulatan parpol. Parpol memiliki kedaulatan menentukan kadernya melalui serangkaian prosespendidikan dan rekrutmen politik yang dilakukan secara demokratis sebagai amanat UU Partai Politik.

Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari memberikan penjelasan kemungkinan Pemilu 2024 dilakukan secara proporsionaltertutup. Hasyim mengtakan hal itu lantaran adanya gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk mengguinakan Kembali coblos gambar partai.

Hal tersebut juga mendapat perhatian dari Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan (Pushan), Dr Oce Madril menilai proporsional terbuka atau proporsional tertutup memiliki kelebihan dan kekuarangan. Namun, proporsional terbuka dinilai memiliki dampak negatif lebih besar yaitu memicu politik uang saat pemilu.

Menurut Oce, konstitusi sebenarnya tidak mengatur mengenai sistem Pemilu apa yang harus diterapkan.

“Jadi pilihan sistem pemilu, apakah proporsional terbuka atau tertutup merupakan kebijakan hukum terbuka. Kedua sistem itu pun pernah diterapkan di Indonesia,” kata Oce Madril kepada wartawan, Kamis (5/1/2023).

Oce menyebut, yang harus diingat, ada implikasi dari setiap pilihan sistem pemilu tersebut. Misalnya, sistem proporsional terbuka dengan nyoblos caleg menitikberatkan pada individu, sehingga setiap Caleg berlomba-lomba untuk dapat terpilih dan mengeluarkan biaya banyak.

“Hal ini menyebabkan politik berbiaya sangat tinggi (high cost)’, ujar Oce.

Banyak riset telah dilakukan yang menyimpulkan rata-rata pengeluaran Caleg DPR mencapai angka Rp 4 miliar dan bahkan ada yang menghabiskan sampai Rp 20 miliar.Lalu, di tingkat DPRD biayanya juga luar biasa hanya untuk berebut 1 kursi.

“Biaya tinggi yang harus dikeluarkan Caleg tersebut untuk membiayai berbagai kebutuhan kampanye agar dapat meraih suara sebanyak-banyaknya,” ungkap Oce.

Para Caleg akan bertarung dengan caleg dari partai lain dan bahkan akan gontok-gontokan dengan Caleg dalam satu partai. Selain berbiaya tinggi, juga memicu konflik.

“Oleh karena orientasinya adalah meraih suara sebanyak-banyaknya, maka berbagai intrik dilakukan termasuk melakukan praktik politik uang (money politics). Maka banyak riset menyatakan bahwa politik uang di Indonesia sangatlah tinggi,” ujarnya.

Pegiat anti-korupsi ini juga menilai, Pemilu yang berbiaya mahal berkorelasi dengan tingginya tingkat korupsi di sebuah negara.Rumusnya sederhana, karena biaya (modal) yang harus dikeluarkan Caleg sangat mahal, maka ketika terpilih rentan melakukan korupsi untuk mengembalikan modal biaya pemilu dan menyiapkan modal baru agar dapat terpilih di pemilu berikutnya.

“Persoalan turunan yang ditimbulkan oleh sistem pemilu berbiaya mahal ini telah dirasakan selama ini dan hingga saat ini, persoalannya semakin akut, korupsi politik dan politik uang semakin merongrong institusi demokrasi,” beber Oce Madril.

Meski demikian, masih ada PR bila sistem proporsional tertutup diberlakukan. Yaitu menyisakan masalah demokratisasi di tingkat partai, khususnya berkaitan dengan rekrutmen politik. Hal itu harus dibenahi ke depan.

“Oleh karena itu, apabila nanti Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa sistem proporsional tertutup (nyoblos partai) kembali diterapkan, maka Partai-partai harus memberikan jaminan bahwa rekrutmen Caleg dilakukan berdasarkan merit system dengan mengajukan kader-kader berkualitas, tidak hanya berdasarkan popularitas semata,” pungkas Oce Madril.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here