Terkait rencana penandatanganan rancangan Perpres PKUB, Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Rancangan Perpres PKUB mengeluarkan pernyataan sikapnya. Hal itu disampaikan dalam jumpa pers di sekretariat Human Right Working Group (HRWG) Indonesia di Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (4/10).

“Negara harusnya hadir untuk menjamin, melindungi, dan memfasilitasi hak-hak warga minoritas yang selama ini terhambat, bukan malah menerbitkan peraturan yang justru semakin mempersulit mereka untuk beribadah dan mendirikan rumah ibadah,” ujar Lola Marina Fernandez Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Rancangan Perpres PKUB.

Saat ini, menurut Lola yang aktif di Cis Timor, NTT, Indonesia memiliki Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No 9 dan No 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Celakanya, sambung Lola, peraturan ini kemudian menjadi legitimasi bagi kelompok-kelompok tertentu untuk menghambat pemenuhan hak tempat beribadah, terutama melalui kewajiban dukungan persetujuan dari 60 warga non-pengguna rumah ibadah yang sulit untuk dipenuhi.

“Jadi atas dasar aturan PBM tahun 2006 ini dapat kita lihat bahwa melalui kebijakan, negara malah hadir untuk memfasilitasi berbagai kasus intoleransi dan kekerasan berbasis agama,” sesal Lola Fernandez.

Yang kemudian sangat mencemaskan kalangan penganut agama atau keyakinan dan kepercayaan minoritas dan organisasi masyarakat sipil yang memperjuangkan isu kebebasan beragama atau berkepercayaan (KBB) adalah pemerintah yang sedang merencanakan untuk meningkatkan status kebijakan yang diskriminatif tersebut, dari PBM menjadi Rancangan Peraturan tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama Raperpres PKUB).

Awalnya, perubahan kebijakan ini diharapkan kalangan minoritas agama atau keyakinan dan kepercayaan maupun para penggerak KBB sebagai peluang untuk memperbaiki kondisi intoleransi dan diskriminasi beragama, terutama dalam pemenuhan hak untuk beribadah. Namun, pada kenyataannya Rancangan Perpres PKUB ini masih rentan dengan ketentuan-ketentuan yang diskriminatif dan tidak inklusif. Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Rancangan Perpres PKUB melihat rancangan yang ada masih memuat syarat dukungan 90 (dari pengguna rumah ibadah) dan 60 (dari masyarakat sekitar) ketika hendak membangun rumah ibadah.

“Seharusnya hal ini dikaji lebih dalam, mengingat ini merupakan persoalan utama terkait dengan hak atas tempat beribadah. Begitu juga dengan hak bagi masyarakat yang menganut penghayat kepercayaan, perlu dijamin dalam Perpres tersebut yang seharusnya dapat berpedoman pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016,” ujar Jesse Adam Halim dari Human Rights Working Group (HRWG).

Jesse mengungkapkan bahwa penyusunan rancangan perpres ini juga dilakukan tidak sepenuhnya partisipatif, karena pada draft perpres yang terakahir, yang sekarang sudah berada “di meja” Presiden Jokowi tidak melibatkan masyarakat sipil, terutama terhadap penganut atau organisasi agama atau kepercayaan yang selama ini terdampak.

“Kami kesulitan mengakses draft terakhir Rancangan Peraturan Presiden ini dan tiba-tiba sudah ‘di meja’ Jokowi. Jadi pemerintah tidak membuka ruang diskusi dan konsultasi draft terakhir Perpres PKUB yang masih sangat restriktif dan diskriminatif, terutama terhadap komunitas/masyarakat yang terkena dampak,” kata Jesse.

Is Werdiningsih, Sekjen Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) memaparkan bahwa selama ini penghayat kepercayaan tidak terlibat dalam keanggotaan FKUB, karena di PBM 2006 tidak ada pasal-pasal untuk melibatkan para penghayat.

“Memang, mulai ada cerita baik, seperti yang dipraktikkan di FKUB Cilacap yang menyertakan penghayat kepercayaan sebagai anggotanya. Tetapi, kalau Ranperpres PKUB ini disahkan kami tidak bisa lagi dan semakin sulit terlibat di FKUB” tutur Is Werdiningsih dalam konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Rancangan Perpres PKUB yang digelar di kantor HRWG di Jakarta Selatan, secara offline dan online.

Untuk itu, Is Werdiningsih menuntut Presiden Jokowi untuk menunda menandatangani Ranperpres PKUB. Selain itu, lanjut Is, Ranperpres PKUB juga ini kontradiksi dengan Putusan MK tahun 2016 yang memutuskan bahwa Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa wajib mendapatkan hak sosial dan politik yang sama dengan para penganut agama lainnya.

Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Rancangan Perpres PKUB memonitoring dan beberapa lembaga di dalamnya mengadvokasi kasus-kasus pelanggaran KBB yang trennya tidak menurun, Di akhir tahun 2015, di ujung barat Indonesia kebencian memuncak yang berujung pada penyerangan tempat beribadah. Satu gereja di Kabupaten Aceh Singkil Provinsi, Aceh, dibakar massa, kelompok mayoritas yang mengatasnamakan agama. Peristiwa itu berlanjut dengan kerusuhan yang menelan korban jiwa. Semenjak itu, ribuan jemaat kehilangan tempat ibadah karena keputusan pemerintah setempat secara sepihak membongkar belasan gereja di Singkil. Jemaat terpaksa beribadah di tenda-tenda darurat, hingga kini. Sementara pada tahun 2017, sekelompok massa membakar pertapakan Masjid Taqwa Muhammadiyah yang sedang dibangun di Kabupaten Bireuen, Aceh. Berbagai hambatan telah memaksa pembangunan masjid tersebut tak lagi dapat dilanjutkan sampai saat ini.

Di ujung Timur Indonesia hal yang sama berlaku. Intoleransi kalangan mayoritas agama kerap memicu aksi penolakan pembangunan hingga pengrusakan tempat ibadah. Pada tahun 2013 terjadi pengrusakan terhadap Gereja Betlehem (GMIT) di Desa Bijeli, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Provinsi NTT. Dengan alasan tidak memenuhi syarat dukungan, sampai saat ini pembangunan GMIT tidak dapat dilanjutkan.

Pulau Jawa juga demikian. GPdI Tanggul, Kabupaten Jember, Jawa Timur, dilarang menggunakan tempat ibadahnya sampai hari ini. GKJ Banyuanyar Surakarta, Jawa Tengah, didemo dan dilarang digunakan untuk beribadah. Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka tidak menerbitkan izin GKJ.

Di Bandung dan wilayah Jawa Barat lainnya gereja-gereja sulit mendapatkan izin, sehingga ibadah-ibadah terpaksa dilakukan di rumah-rumah, yang rentan mendapat larangan dari kelompok mayoritas. Cerita tentang benang kusut izin mendirikan rumah ibadah di Kabupaten Bandung datang dari Gereja Kristen Pasundan (GKP) Dayeuhkolot. Dibangun di atas tanah yang telah dimiliki sendiri sejak 1994 di Jalan Sukabirus, Desa Citeureup, gereja ini tak kunjung memperoleh izin. Yang justru datang bergelombang adalah ragam penolakan. Di Purwakarta, Jawa Barat, Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS), Gereja Kristen Perjanjian Baru (GKPB), Huria Kristen Indonesia (HKI), dan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) sampai sekarang sulit mendapat izin.

Banten juga menjadi provinsi yang diskriminatif karena banyak menolak pendirian gereja. Anak-anak, remaja, dan jemaat perempuan POUK Tesalonika, Tangerang, mengalami persekusi menjelang Paskah 2024. Intimidasi dan demonstrasi kerap dialami jemaat POUK Tesalonika. Rumah doa POUK Tesalonika pun disegel pemerintah. Di Cilegon tidak boleh ada satu pun gereja berdiri, seperti yang dialami HKBP Maranatha. Sedangkan umat Katolik di Labuan, Pandeglang, harus ibadah Minggu di ruang kelas SD yang sempit karena tingginya resistensi mayoritas terhadap gereja.

Begitupun di Kalimantan Timur, Ibu Kota Nusantara, puluhan gereja mengalami diskriminasi dan intoleransi, seperti yang dialami GPMII Pos PI Sidorejo, Petung, Penajam Paser Utara, GSJA Kutai Kartanegara, Gereja Toraja di Samarinda, termasuk pernah yang dialami GKII hampir 28 tahun di Samarinda. Di Jakarta, pusat pemerintahan Indonesia, GBKP Runggun Pasar Minggu sampai saat ini terpaksa beribadah di GOR Pasar Minggu, Jakarta Selatan, karena gerejanya dilarang untuk ibadah Minggu dan hari besar seperti Natal dan Paskah.

Kasus-kasus tersebut di atas sebagian besar terpublikasi. Masih banyak kejadian serupa terjadi dan tanpa kepastian penyelesaian yang adil dan setara. Kasus serupa terjadi di banyak daerah Indonesia lainnya, seperti menimpa GBI Gihon Pekanbaru, Riau, GKKD Lampung, dan Gereja St. Yoseph di Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau, yang sempat dilarang pembangunannya, serta pelarangan pendirian gereja-gereja oleh Ninik-Mamak di berbagai daerah di Sumatera Barat seperti di Pesisir Selatan, Pasaman Barat, dan sebagainya, yang fakta-fakta tersebut tidak tersentuh media, miskin akses, sehingga para korban terpaksa pasrah atas kondisi ini.

Menurut Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Pada tahun 2023, SETARA Institute mencatat 217 peristiwa dengan 329 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan di Indonesia. Angka peristiwa ini naik signifikan dibandingkan dengan temuan pemantauan pada tahun 2022, yaitu 175 peristiwa dengan 333 tindakan. Dari seluruh pelanggaran ini, tren pelanggaran pada 2023 menunjukkan kasus gangguan tempat ibadah masih terus mengalami kenaikan yang signifikan dalam tujuh tahun terakhir. Sepanjang tahun 2023, terdapat 65 gangguan tempat ibadah. Temuan ini adalah angka yang cukup besar bila dibandingkan dengan gangguan yang terjadi dalam lima tahun terakhir, yaitu 50 tempat ibadah (2023) 44 tempat ibadah (2021), 24 tempat ibadah (2020), 31 tempat ibadah (2019), 20 tempat ibadah (2018) dan 16 tempat ibadah (2017).  

Dari 65 tempat ibadah yang mengalami gangguan pada tahun 2023, sebanyak 40 gangguan menimpa gereja, 17 menimpa masjid, 5 menyasar pura, dan 3 menimpa Vihara. Mayoritas penolakan pendirian tempat ibadah didasarkan pada belum terpenuhinya atau deviasi pemaknaan syarat pendirian tempat ibadah sebagaimana diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan No 8 Tahun 2006, yang mensyaratkan 90 pengguna tempat ibadah dan 60 dukungan dari warga setempat.

Atas kondisi ini, Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Rancangan Perpres PKUB mendesak Presiden Republik Indonesia Joko Widodo untuk tidak menandatangani Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama ini, sebelum dilakukan pembahasan kembali dengan memastikan keterlibatan masyarakat sipil serta diakomodirnya jaminan hak kemerdekaan beragama/berkepercayaan serta hak beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu (Sesuai jaminan Pasal 28 E ayat 2, Pasal 29 ayat (1) dan (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Jika ini tetap dilakukan, apalagi di akhir masa jabatan presiden yang hanya hitungan bulan, maka Presiden Joko Widodo akan menyumbang kebijakan yang akan memperkuat konflik antaragama dan keyakinan atau kepercayaan di Indonesia.

Karena itulah Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Rancangan Perpres PKUB meluncurkan petisi online “Desak Jokowi untuk Tidak Menandatangani Rancangan Perpres PKUB” di platform Change.org.

“Masih banyak ketentuan-ketentuan yang harus direvisi dalam Rancangan Peraturan Presiden terkait skema 60 (dukungan warga) dan 90 (pengguna rumah ibadah), FKUB nasional dan keanggotaan atau perekrutan FKUB, tidak diakomodirnya penghayat kepercayaan, dan sebagainya yang mengharuskan rancangan perpres ini ditolak, sebelum ada revisi,” pungkas Lola Fernandez.

Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Rancangan Perpres PKUB terdiri dari: CIS TIMOR, YKPI, Task Force KBB, SEJUK, Sobat KBB, KOMPAK, SETARA Institute, YLBHI, AJI Indonesia, Imparsial, SALT Indonesia, Yayasan Satu Keadilan (YSK), The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Task Force KBB, GEREJA HKI, ALIANSI ADVOKASI KBB KALTIM, Pelita Padang, MLKI, BPW-GBI Kapupaten Belu, LKIS, Koalisi Lintas Isu (KLI), YIP.Center, YLBHI – LBH Yogyakarta, KOALISI NGO HAM, KontraS Aceh, YLBHI-LBH Banda Aceh, SP Aceh, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Flower Aceh, YouthID, Asia Young People Action (AYA), Youth Forum Aceh (YFA), AJI Yogyakarta. Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKAT). (iw)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here