Ilustrasi Sumber Pinterest

Drama satu babak baru saja diperlihatkan tiga partai: Nasdem, PKS, dan Demokrat. Cerita ketiganya menjadi riak-riak kecil dalam kehidupan demokrasi di Republik ini.

Rupanya titik temu diantara ketiga partai politik ini untuk berkolaborasi menentukan dukungan, tidak tercapai. Membuat ketiganya sulit dalam menentukan kandidat capresnya. Kalau boleh mengutip kata Pepo, “sungguh prihatin”.

Sulitnya partai yang tidak memiliki akar ideologis, membuatnya kesulitan melahirkan kader berkualitas untuk mempersiapkan diri maju dalam kontestasi suksesi kepemimpinan nasional. Dia layu sebelum berkembang.

Lalu muncul hasrat untuk mencomot seseorang untuk menjadi figur yang nantinya diharapkan bakal membawa gerbong perubahan sesuai dengan agenda setting yang dibuatnya.

Asal comot -entah dari planet mana- yang penting bisa diajak kolaborasi untuk mewakili partai besutan para generasi konvensional.

Namun semuanya kembali pada pragmatisme. Demi merajut kepentingan sementara, tidak akan membuat semua pihak menjadi happy. Ada yang terang-terangan meminta mahar untuk memiliki tiket premium dengan jualan bahwa mesin struktural partainya lengkap hingga pada tingkatan ranting. Begitupun partai lain yang juga mengklaim perihal yang sama.

Lucunya, kalau para pemilik partai yang bergaya fasis ala-ala Benito Musolini ini tidak sadar kalau kepentingan pragmatisme hanya kepuasaan sesaat. Bahkan rentan dengan kegagalan.

Gelagat pragmatisme itu tentu saja menimbulkan gelombang tsunami yang mulai membantai akar rumput konsituen. Pergeseran terjadi karena tidak diajaknya konstituen untuk musyawarah. Sangat terasa kuat bahwa agenda ini muncul dari segelintir elit partai, padahal roh nafas perjuangan ada pada akar rumputnya.

Sekali lagi, mahar memang menjadi seksi karena pendidikan kader yang tidak pernah dipersiapkan oleh partai yang kurang memiliki basis ideologis kuat. Godaan mahar memang bisa membuat seseorang kehilangan pemikiran rasional, hanya mengedepankan emosional.

Mengutip cuitan Sinetwit pada akun twitter pribadinya @kurawa “Dalam hitungan sederhana, biaya mahar partai politik kepada bandar dengan jumlah suara pemilu tahun 2019 yang diraih PKS sebesar : 11.493.663 x Rp50.000 = Rp574.683.150.000”. Makanya mantan anggota PKS, Fahri Hamzah, hafal betul soal itung-itungan seperti ini.

Angka tersebut tentunya cukup besar. Lalu, lazimnya sebuah transaksi di pasar, ada tawar menawar. Rupanya bandar hanya sanggup 30 ribu persuara. Pemilik suara itupun enggan dan menolak tawaran bandar. Dengan gayanya yang luwes, muncul statemen yang mengatakan kalau koalisi pendukung “Si Jago Kata-kata” tidak mau disetir bandar.

Nasdem mulai mengeluh soal mahar yang diminta tapi mereka sepertinya masih berharap bisa melakukan negosiasi tipis-tipis.

Sang kandidat yang dideklarasikannya sepertinya juga merasa tidak berdaya. Tiket premium yang diimpikannya berpeluang besar kandas di tengah jalan. Ini ibarat pungguk merindukan bulan, atau cinta bertepuk sebelah tangan.

Adegan drama yang dirancang sang arsitek mulai terlihat amburadul. Bisa jadi ini lantaran campur tangan semesta yang sudah muak dengan atribut politik identitas yang menyisakan trauma di kalangan masyarakat.

Sementara pada sisi lain, silent majority bergerak dalam senyap. Mempersiapkan segala sesuatunya dengan perhitungan yang matang. Dengan gayanya yang elok, setiap kandidat dibidiknya. Diajaknya menari dalam alunan musik yang penuh semangat.

Dari Bisikan Sudut Cikini

Irwan 13

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here