Peristiwa lengsernya Presiden RI ke empat Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur sebenarnya sudah selesai dan tidak ada masalah, baik masalah secara hukum pidana maupun hukum tata negara. Di balik lengsernya Gus Dur, semata-mata hanya persoalan politik, yang di dalamnya hanya ada kalah dan menang, tidak ada persoalan hukumnya.
Pada saat kasus Buloggate mencuat saat itu dan berakhir di meja persidangan, Gus Dur tidak terbukti terkait dengan persoalan tersebut. Bahkan dari pihak Jaksa Agung dan Kepolisian sendiri sudah menyatakan, Gus Dur tidak terkait dengan kasus Buloggate. _“Jaksa Agung dan Kepolisian sudah menyatakan (Gus Dur) tidak ada kaitannya, sehingga secara hukum sudah selesai,”_ tidak ada fakta hukum yang membuktikan Gus Dur bersalah.
Selain itu, kasus Bruneigate juga sama sudah dinyatakan selesai secara hukum. Persoalan ini tidak ada kasus hukumnya karena uang tidak diminta oleh negara kepada negara lain dan bukan diberikan oleh negara lain kepada negara Indonesia. _“Itu semacam hibah yang disalurkan secara materil. Oleh sebab itu, secara hukum pidana kasus Brunei sudah berhenti,”_ tidak ada bukti pidananya.
Jadi lengsernya Gus Dur, lebih kepada persoalan politik semata, bukan karena persoalan hukum, yang menjadi syarat seorang presiden bisa di empach. Dan memorandum DPR merupakan akumulasi dari proses pelengseran Gus Dur setelah dilakukan tahapan interpelasi, dan proses politik lainnya di DPR, yang berujung kepada memorandum DPR, yang meminta SI MPR untuk menjatuhkan Gus Dur.
Karena merupakan hasil dari proses politik, yang jauh dari kebenaran substantif secara hukum, maka demi menghormati jasa jasa Gus Dur dalam pembelaannya terhadap kemanusiaan dan demokrasi, serta komitmen tegaknya hak keadilan kepada Gus Dur berdasarkan hukum, sudah seharusnya DPR merehabilitasi nama baik Gus Dur yang telah tercemar dengan mencabut memorandum DPR tersebut.
Ini penting dilakukan sebagai pelajaran bagi generasi sekarang dan yang akan datang, agar tidak mengulanginya kembali, menghukum para pemimpin dengan alasan politik, seperti yang menimpa Proklamator bangsa Bung Karno dengan TAP MPRS.