Sebuah pengakuan tulus datang dari Dahlan Iskan kepada Menteri BUMN Erick Thohir mengenai penanganan masalah Garuda Indonesia. Dahlan Iskan menyebut Erick Thohir sebagai sosok yang cerdas terkait persoalan yang melanda perusahaan penerbangan itu.
“Menteri BUMN memang cerdas, memilih Pelita (Air Service) sebagai pengganti Garuda Indonesia, kalau memang diperlukan. Mungkin itu tidak perlu,” ujar Dahlan, dikutip Republika.co.id dari disway.id pada Senin (25/10).
Pelita Air Service (PAS) merupakan anak usaha dari Pertamina yang saat ini hanya melayani penerbangan charter. Dahlan menilai Garuda akan baik-baik saja sepanjang Pertamina terus memberi bahan bakar.
Namun, Dahlan memberikan ilustrasi, jika Anda menjadi direksi Pertamina dan mendapatkan laporan bahwa Garuda belum membayar bahan bakar senilai Rp12 triliun, apa yang akan dilakukan?
Sebagai direksi, menurut Dahlan, mungkin akan berhenti mengirim bahan bakar ke Garuda. Namun kenyataannya, Pertamina berbaik hati dengan tetap mengirimkan bahan bakar kepada Garuda.
Dahlan mengatakan operasional Garuda akan berhenti seketika apabila Pertamina mengambil keputusan untuk tidak memberikan bahan bakar untuk Garuda.
“Maka nyawa Garuda Indonesia sebenarnya ada di tangan Pertamina, bukan di perusahaan penyewa pesawat di Amerika atau Eropa,” ungkap Dahlan.
Dalam hal ini Dahlan mencoba memahami jalan pikiran Pertamina. Dahlan menilai keputusan Pertamina tetap mengirim bahan bakar kepada Garuda tidak masuk akal dan melanggar semua prinsip di sebuah perusahaan. Di dalam neraca keuangan, piutang sebesar Rp12 triliun tersebut masuk ke dalam laba.
“Tahun lalu Pertamina rugi. Lucu sekali. Bagaimana sebuah perusahaan yang mengalami kerugian punya tagihan begitu besar. Tahun ini, di enam bulan pertama 2021, Pertamina sudah bisa laba Rp13 triliun. Hebat sekali,” ucap Dahlan.
Laba sebesar Rp13 triliun sejatinya tidak menggambarkan kondisi sebenarnya. Pasalnya, ungkap Dahlan, dana Rp12 triliun masih tertahan di Garuda.
Dahlan mengungkapkan peraturan pajak melarang sebuah perusahaan memberi utang ke perusahaan lain seperti itu. Hal ini tak lepas dari posisi Pertamina yang bukan sebagai lembaga keuangan yang boleh memberi pinjaman.
Dahlan menyebut persoalan ini merugikan Pertamina yang tetap harus membayar pajak penghasilan sekitar 30 persen. Alhasil, Pertamina harus membayar pajak laba yang masih nyangkut itu sekitar Rp3 triliun.
“Betapa ruginya Pertamina ditransaksinya dengan Garuda atau Pertamina menjual bahan bakar ke Garuda dengan harga lebih mahal, memasukkan risiko ke dalam harga? Tentu hanya Pertamina dan Garuda yang tahu,” lanjut Dahlan.
Dahlan menduga keputusan Pertamina terus mengirim bahan bakar ke Garuda lantaran adanya perintah dari pemegang saham atau pemerintah. Dahlan berharap Pertamina memiliki bukti perintah tertulis sebagai bagian dari dokumen keuangan.
Dengan demikian, Pertamina bisa menggunakan dokumen perintah tersebut untuk menagih langsung ke pemerintah apabila Garuda ditutup.
Dahlan menyebut sejumlah skema pembayaran yang mana Pertamina tidak harus menerima uang kontan, melainkan dalam bentuk potongan dividen. Artinya, Pertamina dianggap sudah setor dividen senilai piutang yang ada di dokumen tersebut.
“Soal bahan bakar itulah, menurut pendapat saya, salah satu pertimbangan mengapa nama Pelita muncul sebagai calon pengganti Garuda,” sambung Dahlan.
Kata Dahlan, Pelita bisa mencari pesawat yang sewanya tidak dititipi kepentingan pencari komisi. Selain itu, perhitungan akuntansi akan lebih mudah apabila Pertamina mengirimkan bahan bakar kepada Pelita dan piutang Pertamina ke Pelita akan bisa langsung diputuskan di RUPS sebagai tambahan setoran modal.
“Itu yang tidak mungkin dilakukan Pertamina terhadap Garuda,” ucap Dahlan.
Dengan mengubah Pelita menjadi “Garuda baru”, persoalan manajemen lebih mudah dan tidak memiliki beban masa lalu.
Menurut Dahlan, saat ini Pelita masih sangat langsing dan dapat mencari pesawat yang lebih murah, tenaga yang lebih selektif, selama tidak mengulang penyakit lama yang terjadi pada Garuda.
“Catatan besarnya hanya satu, Pertamina menjadi punya anak perusahaan penerbangan besar. Dengan risiko besar. Padahal Pertamina baru saja direorganisasi. Tiba-tiba saja harus punya anak perusahaan skala raksasa, di luar rencana,” kata Dahlan.
Sumber: Republika.co.id