Ekonom INDEF Aviliani mendukung keputusan Presiden Joko Widodo yang memilih menaikkan harga BBM bersubsidi. Menurutnya, jika harga BBM tidak dinaikkan justru akan berbahaya bagi postur APBN.
Avialiani mengatakan, harga minyak dunia pada 2022 dalam asumsi pemerintah berada di angka 80 dolar per barel. Namun, efek perang Rusia-Ukraina, harganya melambung menjadi 105 dolar per barel.
Karenanya, keputusan Presiden Jokowi menaikkan harga BBM dinilai Aviliani sudah tepat. “Kalau tidak dinaikkan, pembengkakan APBN bisa berbahaya. Jika semula subsidinya Rp 200 triliun, bebannya jadi Rp 500 triliun. Bahkan bisa lebih Rp 600 triliun,” kata Aviliani saat menghadiri rilis survei Lembaga Survei Indonesia, Minggu (4/9/2022).
Aviliani juga mendukung keputusan pemerintah dalam memberikan bantalan sosial, bahkan sebelum harga BBM dinaikkan. Kendati demikian, ia menyarankan distribusi bantuan sosial harus benar-benar tepat sasaran.
“Subsidi memang lebih bagus kepada orang, bukan barang. Kalau barang, menimbulkan moral hazard. Bisa ada kenaikan subsidi. Pilihan ini harus dilakukan,” ungkap Aviliani.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan menyatakan tingginya tingkat kepuasan publik terhadap kerja Presiden Jokowi menjadi modal yang cukup untuk menyelesaikan persoalan ekonomi dan politik.
Dalam temuan LSI, tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi pada bulan Agustus berada di angka 72,3 persen. Menurut Djayadi, ada kenaikan yang cukup signifikan jika dibandingkan temuan Mei 2022, baru berada di angka 67,5 persen.
“Apakah approval rate bisa menjadi modal untuk menyelesaikan persoalan di Indonesia, seperti ekonomi dan politik, saya jawab iya. Karena tingginya approval rate didasari pada evaluasi masyarakat,” kata Djayadi.
Terkait dampak kenaikan harga BBM, Djayadi menilai tingginya tingkat kepuasan publik atas kinerja presiden juga bisa modal yang cukup untuk mengurangi dampak negatifnya. Pasalnya, Djayadi melanjutkan, angka 72,3 persen menunjukkan sentiment masyarakat cukup positif terhadap kinerja pemerintah, terutama Jokowi.
“Kalau sentimennya sudah positif, kita lebih mudah berbicara dan menyampaikan sesuatu yang kurang baik. Karena masyarakat sudah percaya dengan pemerintah,” ungkap Djayadi.
Prioritas Kelompok Rentan
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Abraham Wirotomo menegaskan, pengalihan subsidi BBM memprioritaskan kelompok ekonomi rentan, yakni kelompok masyarakat miskin dan hampir miskin.
Hal ini dilakukan untuk menahan peningkatan angka kemiskinan dan menjaga daya beli masyarakat di tengah kenaikan harga pangan dan energi.
“Di tengah krisis energi dan krisis pangan global, masyarakat di berbagai belahan dunia menghadapi dampak kenaikan harga pangan dan energi. Untuk itu perlindungan harus diprioritaskan kepada kelompok ekonomi rentan,” jelas Abraham dikutip dari siaran persnya, Minggu (4/9/2022).
Dia mengatakan, pengalihan subsidi barang ke orang akan membuat alokasi anggaran menjadi lebih tepat sasaran. Abraham mengungkapkan, selama ini subsidi barang lebih banyak dinikmati oleh kelompok ekonomi atas.
Misalnya, subsidi BBM di mana 70 persen lebih justru dirasakan oleh pemilik mobil-mobil pribadi. Abraham meyakini pengalihan subsidi BBM akan membuat bantuan lebih tepat sasaran.
“Dengan pengalihan subsidi langsung ke orang dalam bentuk bantuan sosial bisa lebih tepat menyasar masyarakat yang lebih membutuhkan,” ujar dia.
Sumber : liputan6.com