“Di masa depan, semua bank akan bermuara pada digital. Dengan bank digital, akan mendorong pembiayaan yang lebih murah.”

Dampak revolusi industri 4.0 yang menandai transformasi digital -dengan teknologi disruptif seperti artificial intelligence, cloud computing, blockchain, hingga biometrics- saat ini turut mempengaruhi bisnis perbankan.

Salah satu dampak yang paling kentara adalah soal pemanfaatan data untuk meningkatkan kualitas produk. Istilah “data is the new oil” atau data sebagai minyak baru, yang diperkenalkan oleh matematikawan dan pebisnis data science asal Britania Raya Clive Humby pada 2006 silam, masih menemukan gemanya hingga saat ini.

Data dapat digunakan sebagai aset bank untuk mengembangkan semacam analisis prediktif dalam upaya peningkatan produk dan layanan keuangan.

Selain soal penggunaan data, dampak revolusi industri 4.0 bagi perbankan juga mencakup perubahan ekspektasi konsumen, jenis kemitraan atau kolaborasi baru dengan ekosistem ekonomi digital, hingga perubahan model bisnis dan teknologi.

Pandemi virus corona yang disertai pembatasan mobilisasi orang atau aktivitas fisik memaksa masyarakat harus beradaptasi dan perlahan melakukan transaksi ekonomi melalui platform daring atau digital.

Kian masifnya layanan digital yang dikembangkan oleh perbankan di tengah perubahan gaya hidup masyarakat akibat pandemi Covid-19, tidak akan membuat industri ini mengurangi jumlah, alias melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap para karyawannya.

Semakin banyak produk yang diluncurkan, maka spektrum akan makin luas. Dengan demikian, pada era digital ini job desk karyawan akan lebih fokus kepada penyelesaian masalah yang tidak dapat ditangani oleh layanan digital.

Karyawan tetap dibutuhkan untuk menangani hal-hal yang tidak bisa dilayani dengan digital. Justru skill karyawan akan diupgrade.

Pihak perbankan pun menyadari, tak semua hal dapat dilakukan oleh teknologi digital, misalnya yang berkenaan dengan transaksi di atas Rp1 triliun. Untuk itu, digitalisasi harus diikuti dengan membangun bisnis model yang cocok dengan nasabah.

Berdasarkan informasi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhir tahun 2018, dari 114 bank yang ada, baru dua bank yang sudah benar-benar menerapkan layanan digital banking di Indonesia.

Kedua bank tersebut adalah PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk. (BTPN) melalui aplikasi digital Jenius, dan PT Bank DBS Indonesia (DBS Indonesia) melalui aplikasi Digibank.

Untuk Bank Mandiri, BRI, BNI dan BTN (Bank BUMN) sudah menerapkan secara progresif sejak akhir 2017.

Untuk itu, baik Bank Indonesia (BI) dan OJK tentu mengarahkan perbankan dan fintech untuk bersinergi dan berkolaborasi guna meningkatkan inklusi keuangan dan ekonomi digital melalui penerapan aturan layanan digital untuk bank, dan inovasi layanan digital untuk fintech.

Dalam pergerakan selanjutnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir telah menunjuk PT BRI Agroniaga Tbk untuk bertransformasi menjadi bank digital negara.

Suatu lompatan besar untuk kemajuan industri digital perbankan. Selain BRI, BNI juga tancap gas mengembangkan bank digital.

Di masa depan, semua bank akan bermuara pada digital. Dengan bank digital, akan mendorong pembiayaan yang lebih murah.

Nanti tidak ada lagi bank konvensional, karena semua bank akan bertransformasi menjadi bank digital. Mau itu bank BUMN atau swasta.

Untuk itu, seharusnya ada smart policy dari pemerintah untuk mengakomodir industri perbankan digital menjadi lebih terarah dengan konsep yang sempurna. Hal ini akan menjadi solusi menuju kemakmuran ekonomi negara 5-10 tahun ke depan. Semoga…

Ruscain Qurboni
Pendiri Ikatan Bankir Pancasila

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here