Fitnah keji coba disebarkan pihak tidak bertanggung jawab yang berupaya menyudutkan Erick Thohir dan Luhut Binsar Panjaitan terkait tes PCR.
Padahal berdasarkan data dan fakta yang ada, tidak satupun tuduhan keji itu memiliki dasar kebenaran apapun.
Berikut kami rangkumkan data dan fakta terkait tuduhan keji terhadap Erick Thohir dan Luhut Binsar Panjaitan:
- Tuduhan: Pemerintah seharusnya bisa menerapkan tracing dan tracking Covid-19 secara massal, namun malah menyerahkan ke swasta.
Fakta:
Pemerintah memiliki keterbatasan fiskal untuk menerapkan 3T secara massal, terutama dalam memenuhi standar kesehatan dunia. Ditambah kewajiban pemerintah untuk mengadakan vaksin gratis bagi seluruh rakyat Indonesia.
Untuk itu, pemerintah perlu bermitra dengan semua pihak, termasuk pihak swasta, yang memiliki kemampuan untuk mengadakan fasilitas tracing dan tracking, diantaranya Antigen dan PCR.
Saat ini, musuh kita bersama adalah krisis pasca Pandemi. Penting bagi pemerintah untuk bergerak cepat agar perekonomian Indonesia dapat pulih kembali.
Untuk itu, pelibatan dan kolaborasi dengan semua pihak sangat dibutuhkan.
- Tuduhan: PCR test di Indonesia sangat mahal dibanding negara-negara lain. India saja bisa kurang dari Rp150 ribu.
Fakta:
Indonesia termasuk 10% negara dengan tarif swab paling terjangkau. Pasca instruksi Presiden Joko Widodo, tarif tes PCR tidak boleh lebih dari Rp300 ribu.
Berikut tarif PCR di negara tetangga (setelah penyesuaian dengan kurs Rupiah):
Malaysia: RM 150 atau setara dengan Rp513.218
Singapura: 125-160 SGD atau setara dengan Rp1.318.000-Rp1.687.000
Filipina: 2.460-3.360 PHP atau setara dengan Rp689.000-Rp945.000
Vietnam: 734.000 VND atau setara dengan Rp455.000
Thailand: 4.000 TBH atau setara dengan Rp1.700.000
Sementara India hanya mematok harga swab setara dengan Rp100.000, karena India memproduksi sendiri alat swab yang belum terstandarisasi akurasinya.
- Tuduhan:
Nama perusahaan Luhut Panjaitan dan Erick Thohir turut menerima keuntungan dari swab PCR.
Fakta:
Hal tersebut tidak benar, karena kedua menteri tersebut sama-sama tidak lagi menjadi pemilik saham mayoritas pada perusahaannya masing-masing.
Erick Thohir bahkan telah melepaskan diri dari entitas bisnisnya pasca ditunjuk sebagai Menteri BUMN.
Justru logikanya, penurunan harga PCR akan merugikan perusahaan yang turut andil dalam membantu pemerintah memenuhi kebutuhan tracing dan tracking.
Kebijakan PCR bukan berada di ranah Menteri BUMN, tapi berada di ranah Kementerian Kesehatan.
- Tuduhan:
Kebijakan syarat wajib PCR untuk naik transportasi umum ini merugikan rakyat dan hanya menguntungkan pengusaha swab.
Fakta:
Rencana tersebut belum disahkan sebagai kebijakan, melainkan masih dikaji ulang dan diuji-coba.
Kenyataannya, tidak ada himbauan khusus dari pemerintah untuk melakukan tes PCR di tempat tertentu. Masyarakat bebas memilih.
Selain itu, persyaratan administratif juga berguna untuk mempersiapkan potensi lonjakan gelombang ketiga Covid-19 menjelang libur akhir tahun.
Sumber: dari berbagai sumber