Erick Thohir adalah fenomena. Publik Indonesia mulai tahu tentang Erick Thohir ketika dia menguasai Inter Milan, klub sepakbola seri A Italia. Tak tanggung-tanggung gebrakan Erick Thohir mengejutkan pencinta sepakbola Indonesia. Dia menggelontorkan US$ 480 juta untuk menguasainya. Sejak itu nama Erick Thohir malang-melintang.
Kemampuan manajerial pertama sesungguhnya sudah dibuktikan ketika dia memimpin akuisisi berbagai perusahaan media. Erick Thohir paham masa depan adalah media, informasi, dan data. Maka lahirlah Mahaka Group milik ET. ET ini memiliki kesadaran sebagai generasi muda: bahwa media membentuk opini. Bukan hanya TV bersama Anindya Bakrie, media kecil Bola.com pun dia beli dengan harga selangit. ET paham sepakbola adalah bisnis, hingga selain Inter dia juga terlibat di DC United dan Persis Solo.
Publik mulai mencatat ET sebagai manajer, pebisnis, organisatoris hebat ketika dia sukses Asian Games Jakarta-Palembang. Sentuhan dia sebagai olahragawan, pemain basket, memberikan inspirasi pembukaan dan penutupan Asian Games paling spektakuler – bersama Wisnutama. Dan, publik serta Presiden Jokowi mencatatnya sebagai manajer hebat. Dan, dia jadi menteri.
ET ini anak muda yang belum doyan korupsi, belum tersentuh korupsi. Meskipun lingkarannya adalah para teman yang sudah malang-melintang di dunia bisnis. Dia teman baik Trenggono. Dan, lingkaran Bank Mandiri. Juga Sandiaga Uno. Terlebih ketika dia menjadi Menteri BUMN – menggantikan pemain hitam kelam: Rini Soewandi.
ET menerima rongsokan berupa BUMN yang porak-poranda. Kemampuan manajerial ET ditest oleh Jokowi. Dia harus berani melawan mafia di BUMN. Yang bahkan menjadikan BUMN sebagai ajang mencari uang bagi para bandit.
Belum lagi ET harus membenahi kaum radikal di BUMN. Gabungan antara kaum radikal yang membenci Indonesia – dengan gangster mafia menjadi satu contoh betapa sulit tugas ET. Gerakan radikal di dalam BUMN menjadi kesulitan dan tantangan ET, selain profesionalisme yang sudah digadaikan. ET membikin AKHLAK untuk meredam radikalisme di BUMN – lebih dari sekedar jargon.
Test pertama kepemimpinan dan bukti kekuatan ET, adalah ketika dia memanggil Ahok. Di situlah pada 2020 ET menyampaikan transformasi bagi sejumlah BUMN, agar kinerja perseroan pelat merah jadi efisien, kompetetif dan transparan.
ET membuktikannya dengan Inalum, mengulik bisnis Freeport, dan juga Jiwasraya, pendirian Bank Syariah Indonesia yang lama terkatung. Akhirnya berdiri juga, yang menggabungkan potensi bank-bank pelat merah di bidang syariah: lebih efisien.
Tak hanya itu, ET memiliki ketegasan. Kasus Garuda Indonesia juga potret ET tidak tunduk pada tekanan bohir – termasuk CT, misalnya. Walau akhirnya Garuda – dan Krakatau Steel disuntik dana masing-masing Rp8,5 triliun dan Rp3 triliun. ET menekankan bahwa Sementara Garuda Indonesia dan Krakatau Steel wajib mengonversi surat utang menjadi tambahan saham milik pemerintah ketika jatuh tempo. Penentuan seperti ini jelas merugikan bagi pemilik saham existing. ET tetap jalan.
Yang tak kalah spektakuler tentu terkait dengan merger Pelindo. Merger ini ditentang oleh para mafia di bidang bisnis logistik yang bermain. Sejak tahun 2014 Zeldy Masita pesimistis dan resah soal merger ini. Memang penentangan muncul sejak 2014 – ketika Jokowi minta Rini Soewandi melakukan merger. Tidak terlaksana. ET mewujukannya. Banyak pihak dirugikan.
Yang tak kalah pentingnya lagi. Publik tidak paham praktik busuk Perindo dan Perinus yang akhirnya dimerger. Perusahaan pelat merah ini akan selamanya tidak efisien jika masih melakukan banyak insider trading. PR Erick Thohir untuk memelototi. Banyak peluang bisnis digondol kongkalikong dengan perusahaan swasta.
ET menjadi tumpuan Jokowi untuk terus membenahi BUMN yang pernah menjadi sapi perah. Ajang korupsi seperti Jiwasraya dan Asabri-nya Benny Tjokro, Harry Prasetyo, dan para bedebah lain sejak zaman SBY itu. Tugas ET adalah menjalankan pekerjaan pembersihan dan pembenahan BUMN yang diberikan oleh Jokowi. Dan, itu tidak ringan. Makanya ET digencet kanan-kiri karena tidak mau tunduk dengan nganster dan mafia – seperti di Perinus dan Perindo. Musuh ET bukan hanya soal manajerial, profesionalisme – tapi para bandit di Republik ini. (Penulis: Ninoy Karundeng).