Beberapa hari lalu santer diberitakan tentang pidato Presiden Jokowi di hadapan para pemimpin Uni Eropa dan ASEAN pada acara KTT Peringatan 45 Tahun ASEAN-Uni Eropa di Brussels, Belgia, (14/12/2022).
Dalam kesempatan tersebut Presiden Jokowi secara elegan menyampaikan pernyataannya dengan mengatakan, “Jika kita ingin membangun sebuah kemitraan yang baik, maka kemitraan harus didasarkan pada kesetaraan, tidak boleh ada pemaksaan. Tidak boleh lagi ada pihak yang selalu mendikte dan beranggapan bahwa my standard is better than yours.”
Pernyataan tersebut merupakan sebuah pernyataan sikap yang sangat tegas dan mencerminkan rasa percaya diri seorang presiden yang kuat. Apalagi di tengah “gempuran” para pencari cuan dari Eropa yang merasa gerah dengan sikap Presiden Jokowi yang belakangan ini dinilai tidak menguntungkan negara-negara Eropa.
Yang terdekat adalah sikap Jokowi yang enggan mengekspor nikel mentah ke Eropa yang merupakan salah satu bahan baku yang sangat dibutuhkan oleh industri di sana. Bahan baku nikel sangat penting dalam rantai produksi industri, seperti otomotif, elektronik, dan industri lainnya yang selama ini menjadi kekuatan Eropa.
Sikap Jokowi itu tentu saja sangat menohok Eropa. Sontak, kekerasan kepala Jokowi ini kemudian berbuntut pengadilan WTO. Jokowi tidak gentar dan memerintahkan kepada para pembantunya untuk menghadapi gugatan WTO tersebut dalam pengadilan internasional.
Sayang, Indonesia dinyatakan kalah dalam sidang pengadilan tersebut. Tapi, sepertinya Jokowi tetap teguh dengan sikap untuk tidak mengeskpor nikel dalam bentuk mentah. Kalaupun diekspor harus sudah dalam bentuk jadi atau minimal setengah jadi, misalnya, untuk baterai kendaraan listrik.
Dengan sikap tersebut bisa dipastikan orang yang membenci Jokowi semakin bertambah. Tapi, saya juga yakin, orang yang membela Jokowi juga akan semakin bertambah berpuluh kali lipat, ratusan, ribuan, atau bahkan jutaan kali lipat.
Sikap keras Jokowi ini lebih ditujukan untuk melindungi sumber daya alam Indonesia agar bisa dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Dengan menolak ekspor mentah nikel, maka Jokowi mendorong para peminat nikel Indonesia untuk berinvestasi dengan membuka pabrik untuk mengolah nikel di Indonesia.
Ujungnya, akan ada penyerapan tenaga kerja dan transfer teknologi untuk Indonesia, sehingga diharapkan dalam kurun waktu tertentu, nikel tersebut bisa diolah sepenuhnya oleh tenaga terampil Indonesia.
Tapi urusan dengan Uni Eropa tidak hanya nikel semata-mata. Masih banyak lagi hal yang berkaitan dengan kerja sama Indonesia dengan Uni Eropa yang pada titik tertentu meningkatkan tensi hubungan keduanya.
Namun, sikap Jokowi tersebut tentunya harus kita apresiasi dengan sangat baik terutama di kalangan pebisnis yang menjalin kerja sama dengan Uni Eropa. Jangan hanya mau mendapatkan cuan banyak, namun menggadaikan kehormatan dan kesejahteraan bangsa.
Berdasarkan catatan, Uni Eropa merupakan mitra dagang ASEAN ketiga terbesar setelah Cina dan Amerika Serikat. Total perdagangan ASEAN-Uni Eropa pada 2021 menembus angka US$268,9 miliar (sekitar Rp4.199 triliun), sementara investasi langsung atau foreign direct investment (FDI) mencapai US$26 miliar (sekitar Rp406 triliun).
Bagaimanapun, ASEAN merupakan pasar yang seksi untuk banyak negara di dunia. Pertumbuhan perekonomian di negara-negara ASEAN meski belum merata namun tetap menjanjikan prospek yang sangat cerah.
Apalagi dengan kepemimpinan ASEAN yang saat ini berada di tangan Indonesia, jelas harus menjadi momentum untuk membangkitkan spirit ASEAN yang maju dan berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa di kawasan lain.
Sama halnya dengan G20 2022 dimana Indonesia menjadi ketuanya, maka kepemimpinan Indonesia di ASEAN pada 2023 harus sanggup membawa ASEAN ke level berikutnya yang lebih maju dan sejahtera, dengan tetap menjaga hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan di antara anggotanya.
Jika G20 yang melibatkan banyak negara saja kita mampu menyelenggarakannya dengan sangat baik dan menghasilkan keputusan yang memberikan kontribusi positif bagi anggotanya, maka kepemimpinan Indonesia di ASEAN tentunya harus juga memberikan dampak yang luar biasa bagi negara anggotanya. Saatnya Indonesia tampil menjadi kekuatan yang disegani negara lain.
Andi Wahyudi (DPN Barikade 98)