Saat kita asyik berdebat satu sama lain karena perbedaan pilihan dan warna politik. Saat kita terlena karena membela “jagoan” kita masing-masing di panggung politik.

Juga, di saat kita lupa dengan “tugas dan panggilan sejarah” kita sebagai pejuang Demokrasi akibat ego kepentingan pribadi. Ternyata, kita baru sadar bahwa sebagai sebuah bangsa kita sudah terancam, terkoyak dan banyak “kecolongan”.

Terbukti, hari ini sudah berapa banyak kampus, baik negeri atau swasta, yang sudah disusupi paham khilafah? Sudah berapa banyak daerah yang tumbuh subur dengan ideologi khilafah dan turunannya?

Sudah berapa banyak pengurus masjid atau mushala yang akrab dengan paham khilafah? Dan, sudah berapa banyak juga ASN, aparat keamanan, BUMN, BUMD, lembaga negara serta Kementerian-kementerian yang “disusupi” kelompok khilafah?

Data menunjukkan, setidaknya ada 10 perguruan tinggi negeri di Indonesia terpapar radikalisme yang mengarah pada paham Khilafah.

Kampus-kampus tersebut, yakni: Universitas Indonesia (UI), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah Ciputat, Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Brawijaya (Unibraw), Universitas Airlangga (Unair), dan Universitas Mataram.

Dalam pergerakannya, kelompok mereka terbagi menjadi tiga, yakni, Salafi, KAMMI, dan Gema Pembebasan (HTI). Kelompok Salafi mengambil jarak pada isu politik dan lebih menekankan pada syariah murni.

Kelompok KAMMI dan GP-HTI cenderung membawa politik sebagai bagian yang tidak boleh ditinggal dalam beragama. KAMMI memperjuangkan penerapan syariah di masyarakat dari dalam sistem demokrasi.

Sementara, Gema Pembebasan sebagaimana HTI memposisikan negara beserta ideologi di dalamnya termasuk demokrasi sebagai “Thaghut” (sesuatu yang disembah atau ditaati selain Allah) yang harus dilawan.

Kelompok ini meyakini bahwa solusi atas segala permasalahan adalah tegaknya khilafah. Umumnya, gerakan-gerakan ini berupaya menguasai posisi-posisi di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di level Universitas, Fakultas, HMJ, Masjid Kampus, mentoring agama, lembaga beasiswa, hingga membentuk semacam pesantren berbasis kontrakan atau indekos.

Belum lama ini, sebanyak 45 dari 55 anggota dan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (DPRD DIY) menandatangani surat “Janji Setia kepada NKRI dan Ideologi Pancasila”.

Surat penandatanganan tersebut diberikan oleh FORSA (Forum Bersama) NKRI Yogyakarta kepada Ketua DPRD DIY dan semua pimpinan fraksi pada 10 Mei 2022 lalu.

Penandatanganan Surat Janji Setia itu dilakukan, menyusul adanya “kecolongan” DPRD DIY pada 27 April 2022 setelah masuknya sekelompok orang ke dalam lingkungan DPRD dan membuat petisi yang arahnya tidak menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara dalam praktek bernegara.

FORSA DIY menduga kuat kelompok tersebut adalah bagian dari kelompok besar yang biasa mengkampanyekan ide dan ideologi khilafah yang jelas-jelas merongrong semangat persatuan dan kesatuan bangsa.

Terakhir, jelang tiga hari di Hari Lahir Pancasila, seperti sengaja melakukan agitasi propaganda, para pengasong khilafah pada waktu hampir bersamaan, Minggu, 29 Mei 2022 mununjukkan batang hidungnya.

Mereka serentak melakukan konvoi sepeda motor di tiga titik. Yakni di kawasan Parongpong, Lembang, Jalan Kolmas Bandung Barat. Mereka adalah rombongan Khilafatul Muslimin Wilayah Priangan Bandung.

Kedua di Desa Keboledan Wanasari, Kabupaten Brebes. Penggeraknya adalah rombongan Khilafatul Muslimin Wilayah Cirebon Raya. Markasnya ada di Barat Jembatan Sungai Pemali, Alun-Alun Brebes.

Ketiga di Ibukota Jakarta. Mereka bergerak di wilayah Jakarta Timur, tepatnya di kawasan Cawang dan sekitarnya. Rombongan ini adalah Khilafatul Muslimin Wilayah Jakarta Raya.

Apa yang mereka lakukan bukan hal biasa. Mereka muncul sengaja memprovokasi masyarakat dengan ajakan-ajakan tentang Kebangkitan Khilafah. Sejumlah poster mereka pasang di sepeda motor, di antaranya bertuliskan “Sambut Kebangkitan Khilafah Islamiyah,” dan “Jadilah Pelopor Penegak Khilafah Ala Minhajin Nubuwwah”.

Melihat semua itu, bangsa ini sesungguhnya sudah masuk dalam kategori “Darurat Khilafah”! Dan kita sudah banyak kecolongan! Jangan sampai kelompok kontra Pancasila ini bebas mengepakkan sayap ideologinya ke seluruh sendi-sendi kehidupan kita.

Karena jika itu terus terjadi dan kita tidak merapatkan barisan untuk melawan mereka, maka Merah Putih dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terancam sehingga bisa tinggal kenangan.

Terkait Khilafah, Bapak Proklamator sekaligus Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno sudah mengutarakan pandangannya puluhan tahun silam. Bung Karno menegaskan era kekhilafahan atau zaman khalifah tidaklah sepatutnya didambakan umat Islam.

Pandangan Soekarno mengenai hal itu seperti yang tertulis dalam Surat-Surat Islam dari Ende (DBR Jilid I, 1964):

“Islam harus berani mengejar jaman, bukan seratus tahun, tetapi seribu tahun Islam ketinggalan jaman. Kalau Islam tidak cukup kemampuan buat mengejar seribu tahun itu, niscaya ia akan tetap hina dan mesum. Bukan kembali pada Islam glory yang dulu, bukan kembali pada ‘zaman chalifah’, tetapi lari ke muka, lari mengejar jaman. Itulah satu-satunya jalan buat menjadi gilang gemilang kembali. Kenapa toch kita selamanya dapat ajaran, bahwa kita harus mengkopi ‘zaman chalifah’ yang dulu-dulu? Sekarang toch tahun 1936 dan bukan tahun 700 atau 800 atau 900?”

Jadi, menurut Bung Karno, seharusnya umat Islam harus “berlari ke depan”. Bukan kembali ke zaman khalifah atau khilafah.

Hal itu kembali ditegaskan Bung Karno, masih dalam sumber yang sama. Bung Karno menegaskan bahwa Islam adalah kemajuan. Bukan tenggelam dalam masa silam yang dianggap sebagai masa kebesaran.

“Mengapa kita musti kembali ke zaman ‘kebesaran Islam’ yang dulu-dulu? Hukum Syariat? Lupakah kita, bahwa hukum Syariat itu bukan hanya haram, makruh, sunnah, dan fardlu saja? Lupakah kita, bahwa masih ada juga barang ‘mubah’ atau ‘jaiz’? Alangkah baiknya, kalau umat Islam lebih ingat pula kepada apa yang mubah atau yang jaiz ini! Alangkah baiknya kalau ia ingat bahwa ia di dalam urusan dunia, di dalam urusan statemanship, ‘boleh berqias, boleh berbid’ah, boleh membuang cara-cara dulu, boleh mengambil cara-cara baru, boleh beradio, boleh berkapal udara, boleh berlistrik, boleh bermodern, boleh berhyper-hyper modern’, asal tidak nyata di hukum haram atau makruh oleh Allah dan Rasul! Adalah suatu perjuangan yang paling berfaedah bagi ummat Islam, yakni berjuang menentang kekolotan. Kalau Islam sudah bisa berjuang mengalahkan kekolotan itu, barulah ia bisa lari secepat-kilat mengejar zaman yang seribu tahun jaraknya ke muka itu. Perjuangan menghantam orthodoxie ke belakang, mengejar zaman ke muka, perjuangan inilah yang Kemal Attaturk maksudkan, tatkala ia berkata, bawa ‘Islam tidak menyuruh orang duduk termenung sehari-hari di dalam mesjid memutarkan tasbih, tetapi’ Islam adalah perjuangan.’ Islam is progress: Islam itu kemajuan!”

Tampak jelas bahwa Bung Karno secara tegas menolak pandangan sebagian kalangan Islam yang memandang ‘kembali ke era khalifah’ sebagai tolok ukur kemajuan Islam.

Dalam Surat Ende 1936, Soekarno menegaskan api Islam bukanlah Islam yang kuno. Api Islam bukanlah Islam yang ‘ngotot’ kembali ke zaman Khalifah.

“Padahal apa yang kita namakan Islam? Bukan roh Islam yang berkobar-kobar, bukan api Islam yang menyala-nyala, bukan amal Islam yang mengagumkan, tetapi dupa dan kurma dan jubah dan celak mata! Siapa yang mukanya angker, siapa yang tangannya bau kemenyan, siapa matanya dicelak dan jubahnya panjang dan menggenggam tasbih yang selalu berputar-dia, dialah yang kita namakan Islam. Astagafirullah! Inikah Islam? Inikah agama Allah? Ini? Yang mengkafirkan pengetahuan dan kecerdasan, mengkafirkan radio dan listrik, mengkafirkan kemoderenan dan ke-up-to-date-an? Yang mau tinggal mesum saja, tinggal kuno saja, yang terbelakang saja, tinggal ‘naik onta’ dan ‘makan zonder sendok’ saja ‘seperti di jaman Nabi dan Chalifahnya’? Yang menjadi marah dan murka kalau mendengar kabar tentang aturan-aturan baru di Turki atau di Iran atau di Mesir atau di lain-lain negeri Islam di tanah Barat?”

Maka jelaslah bahwa Bung Karno beranggapan sistem Khilafah yang dipimpin seorang Khalifah sudah tidak cocok diterapkan di Indonesia atau wilayah manapun.

Bung Karno dalam hal ini kagum dengan gerakan nasionalisme Turki yang dipelopori oleh Mustafa Kemal Ataturk pada 1920-an. Gerakan Kemal Attaturk ini berhasil menghapuskan Kekhilafahan Turki Utsmani pada 1924.

Sejak saat itu, Turki berkembang menjadi negara modern. Bung Karno pun beranggapan, apabila umat Islam ingin mengembalikan kejayaan Islam, maka tak mesti kembali pada sistem Khilafah. Menurutnya, sistem kekhalifahan sudah tidak layak lagi untuk era kekinian.

Seperti diketahui, Khilafah adalah sistem pemerintahan yang wilayah kekuasaannya tidak terbatas pada satu negara, melainkan banyak negara di dunia, yang berada di bawah satu kepemimpinan dengan dasar hukumnya adalah syariat Islam.

Dengan demikian keberadaan khilafah akan menghancurkan negara-bangsa seperti Indonesia yang berdasar Pancasila.

Maka, tetaplah berpegang teguh pada nilai-nilai luhur ke-Indonesia-an yang sarat akan spiritualitas, welas asih, gotong royong, serta selalu terpikul dan memikul nature. Yang kesemuanya sesuai dengan falsafah Pancasila, yakni Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial.

Vox Populi Vox Dei.

Nuryaman Berry Hariyanto (Wakil Ketua Umum 1 Barikade 98)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here