Sore itu di sebuah rumah besar di bilangan Cikini, pada sebuah ruang adem dengan tokek besar yang suaranya sering mengejutkan penghuni kamar. Alunan musik dari YouTube terdengar merdu.
Ruang yang biasanya terang perlahan menjadi temaram, bukan karena tegangan listrik drop atau efek gerhana bulan. Keempat penghuninya yang asyik dengan gawai tiba-tiba merasakan keanehan yang luar biasa. Mereka saling bertatapan. Ada yang aneh ini.
Sontak, terdengar suara yang familiar dengan pidatonya yang berapi-api. Astaga, itu suara Singa podium! Ya, Tuhan apa salah kami yang mendadak kedatangan tamu istimewa di sore yang mendung ini.
“Assalamualaikum Bung..,” salam seorang diantara kami memecahkan keheningan. “Wa’alaikumsalam…Apa kabarnya, Kisanak?” Astaga, itu suara Bung Karno…
Tiba-tiba lidah kami menjadi keluh mendengar suara berkharisma itu. Tubuh mendadak lemas dan tarikan nafas mulai ngawur. Siapa yang tidak terhipnotis dengan sosok Proklamator itu. Ruangan itu benar-benar hening…
“Sepertinya Perjanjian Batu Tulis bakal dilanjutkan,” suara itu memecahkan keheningan. Kami berempat saling bertatapan.
Sejurus kemudian terdengar lagi suara, “Endorse kemarin terhadap Prabowo paling mahal diantara statemen Jokowi dalam acara partai.”
Oalah…Si Bung menyinggung soal suksesi Republik ini. “Maksud Bung, Prabowo-Ganjar? Atau Prabowo-Erick Thohir?” tanya Irwan.
Mungkin saja yang akan diusung setelah 5 tahun ke depan. Lalu setelah itu Prabowo pensiun. Kemudian dilanjutkan oleh Ganjar atau Erick Thohir.
“Tunggu dulu…Bukankah Prabowo masih menyisakan tanda tanya soal nasib kawan-kawan kami yang diculik dan hilang entah di mana. Masih pantaskah dia bertahta di atas darah dan air mata?” protes kawan di kiri saya.
Si Bung tidak menjawab. Lama kami menunggu suaranya. “Setidaknya kalian bisa mendukung wakilnya. Ganjar berpotensi tapi Erick Thohir juga sosok yang brilian,” ungkapnya.
“Pergaulan internasionalnya sangat bagus. Pemahaman Erick Thohir pada ekonomi global dan nasional tidak perlu diragukan, dan dia tahu bagaimana harus bersikap. Kinerja profesionalnya selama ini menjadi sumbangsih besar bagi Republik ini, meski secara politik dia masih bau kencur.”
Lalu tanpa memberikan waktu, Si Bung melanjutkan, “Jokowi butuh soft landing, dan mesti mengawal proyek Ibu Kota Nusantara sampai tahun 2034. Dia butuh suksesi yang mulus lancar dan bisa dikendalikan sampai kelar.”
“Lalu apa yang akan dilakukan Jokowi berikutnya? Sekjen PBB?” tanya Widi.
“Rasanya itu sudah di depan mata, melihat raihan penghargaan perdamaian sudah datang dari timur hingga ke barat. Apabila semesta alam mendukung, maka Putin dan Zelensky akan hadir di Bali, dan itu akan menambah prestasi Jokowi dalam upaya perdamaian dunia.”
“Semesta berkali-kali menyertai langkah sosok yang kerempeng itu. Harus kuakui, Jokowi teruji sebagai King Maker dalam menentukan catur perpolitikan nasional. Apalagi untuk dunia, tidak ada yang mustahil,” paparnya.
Tiba-tiba ruangan kami berada mendadak terang benderang dari biasanya. Kami menutup mata. Suara mesin pemanas air terdengar nyaring dan mengepulkan uap. Sekelebat, terlihat Bung Karno berpaling sambil menutup telinga ketika alunan Beatles terdengar.
“Tunggu dulu Bung,” teriak Peter. Namun, Bung Karno terus beranjak. “Teruslah berimajinasi Kisanak,” pesannya seraya meninggalkan ruang tempat kami bekerja.
Tak lama berselang, kuseduh empat cangkir kopi kiriman seorang kawan. Sore itu, hujan November turun dengan derasnya.
Dari ruang kerja yang sering kehabisan token listrik,
Irwan, Widi, Andi, dan Peter (Peserta Diskusi Imajiner)