Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) mengajak masyarakat untuk tidak melupakan begitu saja tragedi kerusuhan yang terjadi pada era 1998-an silam.
PBHI juga mengimbau korban dan masyarakat sipil untuk tidak memilih pelaku pelanggaran HAM pada Pemilu 2024 nanti, hal ini terungkap dalam diskusi publik yang digelar di Sadjoe Cafe, Tebet, Jakarta Selatan pada Rabu (26/7)
Ketua PBHI Nasional Julius Ibrani mengatakan pelaku kejahatan di masa lalu tidak pantas untuk menjadi pemimpin Indonesia karena dikhawatirkan kejadian serupa akan terulang.
Apalagi tragedi berdarah sebelumnya pada kerusuhan 27 Juli 1996 atau kudatuli dan kerusuhan Mei 1998 saja belum menemukan titik terang penyelesaian masalah.
“Langkah kampanye ini juga akan kami dorong bagi para pemilih masyarakat sipil agar dia bisa membuka mata dan telinga, agar tidak memberikan suaranya kepada para pelanggar HAM. Karena kakek neneknya terancam menjadi korban dan cucu cicitnya masih dalam potensi keterancaman,” ujar Julius dalam diskusi tersebut.
Julius menegaskan hingga kini belum ada penyelesaian atau penuntasan kasus kerusuhan 1998 yang tergolong pada pelanggaran HAM berat tersebut. Sehingga, ini tidak boleh ditinggalkan atau dilupakan hingga persoalan ini terungkap.
“Ini bagian juga dari gerakan sosial dan politik dari kelompok masyarakat sipil bahwa nasib kami masih diujung tanduk selama pelaku HAM berat ini masih berada dalam kekuasaan dan berpotensi makin berkuasa lagi dalam kontestasi Pemilu 2024,” ungkap Julius.
Pihaknya bahkan sudah berkoordinasi dengan para keluarga korban untuk menagih komitmen dan tanggung jawab dari Komnas HAM untuk mengusut tuntas siapa dalang dan pelaku yang terlibat di dalamnya.
“Dan tindakan yang paling berat adalah mulai dari korban kekerasan, penyiksaan, penculikan. Kami Minta Komnas HAM bersikap tegas,” lanjut Julius.
Julius sempat menyinggung mengenai politik impunitas pada Pemilu 2024. Dia menduga Prabowo Subianto sebagai salah satu pihak yang terlibat dalam kerusuhan Mei 1998.
Dia menilai apabila masyarakat tetap memberikan ruang bagi pelanggar HAM berat tersebut untuk memiliki kekuasaan dan pengaruh, tidak dipungkiri tragedi serupa akan terulang kembali di masa yang akan mendatang.
“Politik impunitas ini tidak hanya kami bunyikan pada Pemilu 2024, tetapi pada 10 tahun lalu, 2014. Kerusuhan Mei 98 ada Wiranto, dan penculikan paksa ada Prabowo, dan lain-lain. Kami tegaskan selama ada itu belum clean and clear dari para pelaku pelanggar HAM, itu bisa dimaknai sebagai politik impunitas,” jelasnya.
“Politik impunitas itu ada, orang-orang pelanggar HAM masih ada. Masuknya mereka ke dalam kekuasaan untuk mempertahankan kekuasannya dan kemudian melanjutkan tindakan-tindakan kebiadaban yang merupakan HAM berat seperti masa lalu tetapi (terjadi) di masa ini,” lanjut Julius.
Dalam kesempatan itu, Paian Siahaan selaku ayah dari Ucok Munandar atau korban penculikan 1998 juga turut bersuara. Paian mengatakan bahwa status penghilangan paksa anaknya sampai saat ini masih belum menemukan titik terang.
“Saya orang tua Ucok Siahaan salah satu korban penculikan 1998. Secara jelas setelah Komnas HAM melakukan penyelidikan, anak saya dinyatakan korban penculikan pelanggaran HAM di masa lalu,” kata Paian.
Paian mengaku sangat sakit hati jika seseorang menyatakan bahwa kasus penghilangan paksa itu sudah selesai dan tidak perlu diungkit lagi. Hal itu, kata dia, pernah diungkapkan oleh Budiman Sudjatmiko.
Pasalnya, sudah lebih dari 25 tahun Paian berjuang untuk mencari kejelasan status hukum yang menimpa anaknya. Namun sayangnya, hingga saat ini belum ada kejelasan mengenai hal tersebut.
“Dasarnya apa Budiman menyatakan bahwa kasus pelanggaran HAM berat itu telah selesai, kami kan masih ada, masih berjuang. Kami mohon agar pernyataan ini dapat tersebarluaskan, jangan kami dikorbankan, ini menyakitkan buat kami yang telah berjuang,” pungkas Paian.