Merespon tentang penolakan pembangunan Gereja di wilayah Cilegon menjadi perhatian serius kita bersama, mengapa ?
Karena yang menghimbau untuk penolakan bukanlah berasal dari masyarakat justru dari MUI Cilegon yang di-amini oleh Pemkotnya sendiri.
Walikota Cilegon yang notabene sebagai pimpinan masyarakat, harusnya mampu memberikan pengayoman dan rasa adil di masyarakat.
Meskipun Kota Cilegon mayoritas muslim, tetapi warganya ada juga yang beragama lain sebagaimana negara Indonesia ini yang menganut negara beragama, bukan negara agama.
Terlebih lembaga MUI yang harusnya diisi oleh para alim ulama yang mempunyai tugas sebagai pembimbing akhlak umat untuk ke arah yang lebih baik, justru malah melakukan tindakan provokasi dengan mengeluarkan surat edaran resmi nomor B.61/XVI-06/U/IX/2022 berkop surat MUI Kota Cilegon.
Sungguh miris sekali, selevel mereka tega untuk menyesatkan warganya agar berbuat dzolim terhadap sesamanya.
Saya yang juga sebagai muslim, tentu tidak setuju dan menolak keras sikap-sikap seperti itu, terlebih dilakukan oleh pimpinan daerah yang harusnya sudah paham dan tuntas tentang cara hidup bernegara yang sesuai dengan Pancasila.
Bahkan saya justru menilai apa yang dilakukan oleh para pemimpin di Cilegon ini justru merusak dan menistakan paham ajaran Islam itu sendiri.
Karena jelas bahwa ajaran Islam adalah Rahmatan lil alamin, rahmat bagi sekian alam, rahmat bagi seluruh mahluk ciptaan Tuhan.
Tidak membedakan dia Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha bahkan yang tak memiliki agama pun tetap mendapatkan rahmat dari Allah SWT, hewan tumbuhan dan yang ada di dunia ini semuanya mendapatkan rahmat-NYA.
Terlebih kasusnya adalah soal penolakan tempat ibadah, apapun alasannya itu tidak dapat dibenarkan baik oleh undang-undang negara maupun ajaran Islam itu sendiri.
Jelas kok Islam mengajarkan toleransi, baik dalam kehidupan sosial maupun kehidupan beragama. Semua ada dalam Al Quran, kalau tidak percaya berarti walikota dan MUI Cilegon harus belajar ngaji lagi yang benar.
Pemimpin harusnya bisa mengayomi dan memberikan rasa keadilan terhadap masyarakatnya, menciptakan situasi yang damai, guyub dalam persaudaraan antar umat beragama.
Karena sekecil apapun umat Kristen maupun yang lainnya di Cilegon adalah warga Cilegon dan warga Negara Indonesia yang memiliki hak asasi yang sama.
Mereka juga dilindungi oleh UUD Negara Republik Indonesia Pasal 29 ayat 2 yang menyatakan bahwa “Negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing”. Apa iya itu Walikota dan MUI Cilegon tidak paham UUD?
Saya malah lebih yakin kepada masyarakat Cilegon sebenarnya justru bisa lebih arif dan bijaksana dalam kasus ini, karena sudah dari dulu kita terbiasa hidup berdampingan dan gotong royong, tepo seliro terhadap sesama.
Ini kan baru belakangan ini saja adanya kelompok-kelompok yang mengajarkan ajaran kebencian atas nama Islam, dan sasarannya adalah masyarakat yang paham ajaran (Islam) nya memang lemah dan mudah dicekoki oleh para oknum-oknum itu.
Melihat fenomena ini tidak salah jika masyarakat melabeli walikota dan MUI di Cilegon sebagai bagian penyebar ajaran kebencian/intoleran dengan berkedok ajaran Islam.
Semoga masyarakat Cilegon tidak mau terprovokasi dan ikut-ikutan oleh sikap para pemimpinnya yang intoleran itu. Karena Islam adalah toleran, humanis dan Islam adalah ajaran yang lurus dan benar.
Sekali lagi bahwa semesta dan segala isinya adalah ciptaan Tuhan, dan setiap muslim wajib menghargai, menghormati dan menjaga harmoni dalam kehidupan.
Haqqul yaqin masyarakat Cilegon adalah masyarakat yang menjunjung tinggi toleransi dan kebhinekaan. Lawan segala bentuk intoleran dan radikalisme dari bumi pertiwi ini.
Asbit Panatagara
Aktivis DPN BARIKADE 98