Ilustrasi Tambang Nikel (Foto Dok. Media Nikel INdonesia)

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir berbicara soal optimalisasi potensi nikel di Indonesia.

Menurutnya, Indonesia perlu membentuk organisasi seperti Organization of the Petroleum Exporting Countries atau OPEC, yang khusus untuk komoditas nikel.

Sebab, lanjutnya, produksi nikel di tanah air berada di atas 50 persen dari produksi dunia.

“Kenapa enggak bikin OPEC baru buat nikel. Kita bedah coba, nikel kita itu 52 persen dari total produksindi dunia,” kata Erick Thohir melalui akun instagram @erickthohir, dikutip Minggu (6/11/2022).

Menurut mantan Presiden Inter Milan itu, pembentukan OPEC versi nikel ini bisa dilakukan dengan mengajak Filipina.

Sebab negara yang saat ini dipimpin Bongbong Marcos itu merupakan produsen nikel terbesar kedua setelah RI.

“Kemarin bapak presiden kedatangan Presiden Bongbong Marcos. Salah satunya apa, Filipina bisa jadi aliansi kita,” ujarnya.

“Karena dia punya nikel juga. Kalau sekarang kita sudah di luar OPEC, kita kenapa enggak bikin OPEC baru buat nikel,” lanjut pria yang akrab disebut ET ini.

Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah periode 2021-2024 ini mengatakan melimpahnya komoditas nikel di RI merupakan potensi yang harus dimanfaatkan dengan baik.

Bagai gayung bersambut perihal ide Erick Thohir memberi inspirasi bagi Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengusulkan membentuk organisasi negara-negara penghasil nikel, kepada Menteri Perdagangan Internasional, Promosi Ekspor, Usaha Kecil dan Pembangunan Ekonomi, Kanada Mary Ng. Organisasi ini akan seperti OPEC, sebuah organisasi negara eksportir minyak mentah.

Sebagai sesama negara yang kaya akan hasil pertambangan khususnya nikel, adanya organisasi seperti OPEC untuk negara penghasil nikel dapat mengoordinasikan dan menyatukan kebijakan komoditas nikel. Terlebih lagi, Indonesia sedang memprioritaskan hilirisasi sumber daya alam dalam rangka pengembangan ekosistem kendaraan listrik.

Bahlil berpandangan selama ini negara-negara industri produsen kendaraan listrik melakukan proteksi. Akibatnya, negara penghasil bahan baku baterai tidak memperoleh pemanfaatan nilai tambah yang optimal dari industri kendaraan listrik.

“Melalui kolaborasi tersebut, kita harap semua negara penghasil nikel bisa mendapat keuntungan melalui penciptaan nilai tambah yang merata,” ungkap Bahlil dikutip Rabu (16/11).

Bahlil juga menyampaikan komitmen untuk mendukung penyelesaian perjanjian kerja sama ekonomi Indonesia-Kanada (Indonesia-Canada Comprehensive Economic Partnership Agreement/Indonesia-Canada CEPA). Dia berjanji akan berkoordinasi lebih lanjut dengan Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian untuk mengakselerasi penyelesaian Indonesia-Canada CEPA tersebut.

Menyambut baik usulan tersebut, Mary menyampaikan bahwa pekerjaan rumah selanjutnya adalah kedua negara untuk bekerja bersama dan mengeksplorasi peluang kolaborasi yang dimaksud. Kedua negara sudah memiliki visi yang sejalan terkait optimalisasi sumber daya alam secara berkelanjutan yang juga memberikan benefit secara ekonomi.

Pemerintah Kanada juga menginisiasi transisi ekonomi ke arah ekonomi hijau berkelanjutan, terutama dalam hal menciptakan lapangan
pekerjaan hijau. “Pada prinsipnya, kami meyakini bahwa kolaborasi perlu dilakukan dengan partner yang dapat dipercaya, dan Indonesia termasuk partner yang tepat,” ungkap Mary.

Berdasarkan data Kementerian Investasi/BKPM, Kanada menduduki peringkat ke-19 dalam realisasi investasinya yang mencapai USD954,7 juta selama periode 2017 sampai dengan triwulan III tahun 2022. Sektor dengan realisasi investasi terbesar dari Kanada adalah sektor pertambangan sebesar 90 persen, disusul oleh sektor industri logam dasar sebesar 3 persen, kemudian hotel dan restoran 2 persen. (Irw13)

Dari berbagai sumber

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here