Memperingati Hari HAM 10 Desember 2022, Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Barikade 98 menggelar kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Menyikapi Kinerja Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Keppres 17 tahun 2022), Kamis, (15/12/2022).

Kegiatan diskusi yang dilakukan secara online ini dengan menghadirkan narasumber Maulana Muhammad, ST (Barikade 98 Papua, TA DPR RI Komisi II) dan Bona Sigalingging, SH Mr Univ Utherct (Aktivis 98, Pemerhati HAM).

Diskusi dipandu oleh Christian Situmorang dan dimulai oleh Maulana Muhammad, ST (Agam) dengan memaparkan banyaknya pelanggaran HAM di Papua yang terjadi berulang-ulang. Sementara itu Bona Sigalingging, SH menanggapinya dengan memaparkan cara main untuk penyelesaian kasus-kasus HAM dan menegaskan untuk memastikan tidak terulangnya lagi pelanggaran HAM oleh negara.

Selanjutnya, Bona menyatakan Keppres 17 tahun 2022 pada Bagian menimbang poin B menyatakan bahwa “hingga saat ini pelanggaran HAM berat masa lalu belum terselesaikan secara tuntas sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.”

Tapi ironisnya tim Keppres ini sama saja tidak menimbulkan kepastian hukum sebab Keppres ini sama sekali tidak menyinggung penyelesaian hukum dan malah rentan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penanganan kejahatan berat HAM di masa lalu.

Bagian menimbang poin c menyatakan bahwa untuk menyelesaikan pelanggaran berat HAM diperlukan upaya “Alternatif Selain”. Dalam perkembangan hukum internasional terkait “serious crimes under international law” termasuk kejahatan atas kemanusiaan, pendekatan-pendekatan non yudisial dapat saja menjadi upaya komplementer yang positif namun tidak boleh menjadi sebuah alternatif, dimana jika yang satu sudah dilakukan, maka yang lain tidak perlu dilakukan lagi.

Bila rekonsiliasi sudah dilakukan, maka pengadilan HAM Adhoc tidak perlu dilakukan lagi atas kasus-kasus kejahatan berat HAM di masa lalu. Dunia hukum internasional jelas menolak hal ini. Jelas dikatakan bahwa membuat pelanggar HAM bebas tidak dapat dibenarkan bahkan dalam situasi-situasi pasca konflik sekalipun.

Pada pasal 3c: dikatakan bahwa tugas PPHAM adalah merekomendasikan langkah untuk mencegah pelanggaran HAM yang berarti dan terulang lagi di masa yang akan datang.

Ketika bicara tentang jaminan tidak berulangnya kejahatan HAM berat dimasa datang maka negara harus melakukan, antara lain, mereformasi pemerintahannya terutama militer, polisi, intelijen, agar orang-orang yang bertanggung jawab dalam kejahatan berat HAM tidak boleh ada lagi dalam jabatan-jabatan publik.

Namun nyatanya, para petinggi militer di masa-masa terjadinya kejahatan berat HAM tidak dicopot dari posisinya di ruang pejabat publik dan malah terus dipakai dalam jabatan-jabatan publik, seperti menjadi menteri, termasuk ironisnya, malah dimasukkan sebagai anggota tim keppres ini.

Pada pasal 14 menyatakan bahwa tim pelaksana menyampaikan laporan akhir kepada Ketua Tim Pengarah dan kemudian Ketua Tim Pengarah menyampaikan laporan kepada Presiden.

Dalam penanganan kasus-kasus kejahatan berat HAM, juga dalam upaya agar kejahatan itu tidak berulang maka publik luas harus tahu apa yang menjadi laporan dari tim yang mengusung pendekatan rekonsiliasi.

Jika kemudian yang tahu hanya Ketua Tim Pengarah, Presiden dan anggota tim lainnya, apalah artinya itu bagi pencegahan kejahatan berat HAM di masa depan? Pasal itu membuat bahwa hasil kerja tim hanya akan berakhir di laci Presiden tanpa perubahan secara menyeluruh dan struktural.

Belum lagi masa kerja tim ini yang sangat singkat, bagaimana mungkin kejahatan-kejahatan berat HAM masa lalu itu dapat dengan baik diungkap secara menyeluruh dan adil untuk menjadi bahan pembelajaran masa depan?

Keppres ini tidak memberikan tindakan yang konkret yang memperlihatkan perkembangan yang baik bagaimana Indonesia menangani kejahatan HAM masa lalunya.

Keppres ini justru patut diduga, justu adalah apa yang diistilahkan oleh Stanley Cohen sebagai “State-organized denial”, atau pengingkaran terorganisir dari negara atas kejahatan HAM yang dilakukan negara pada masa lalu. Sayangnya, negara yang melakukan pengingkaran ini adalah Negara Republik Indonesia.

Turut hadir dalam diskusi tersebut Sumarsih, ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan) mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas saat Tragedi Semanggi I, yang memberikan pernyataan mengenai Penerbitan Keppres 17 tahun 2022 yang berlaku mulai tanggal 26 Agustus 2022 tentang pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.

Sementara itu berbagai kalangan menilai Tim ini merupakan sarana cuci dosa dan memperkuat impunitas para pelaku pelanggaran HAM. Apalagi masa kerja Tim ini akan berakhir pada 31 Desember 2022, maka banyak pertanyaan apakah Tim ini akan dapat efektif bekerja dan mencapai hasil yang maksimal dan dapat diterima oleh berbagai pihak.

Perlu diingat kembali, ada banyak kasus pelanggaran HAM yang berat di Indonesia. Diantaranya adalah:

  1. Kerusuhan Tanjung Priok (12 September 1984). Dalam kasus ini 24 orang tewas, 36 orang luka berat, dan 19 orang luka ringan. Keputusan majelis hakim terhadap kasus ini menetapkan seluruh 14 terdakwa dinyatakan bebas.
  2. Penembakan mahasiswa Universitas Trisakti (12 Mei 1998). Dalam kasus ini, 4 orang mahasiswa tewas. Mahkamah Militer yang menyidangkan kasus ini memvonis dua terdakwa dengan hukuman hanya 4 bulan penjara, empat terdakwa divonis 2-5 bulan penjara dan sembilan orang terdakwa divonis penjara 3-6 tahun.
  3. Pelanggaran HAM yang termasuk berat lainnya adalah penculikan aktivis pada 1997/1998. Dalam kasus ini, 23 orang dinyatakan hilang dengan rincian 9 orang di antaranya telah dibebaskan, dan 13 orang belum ditemukan sampai saat ini.

Alex Leonardo dan Eriq N selaku penggagas FGD ini menyatakan dengan tegas, Barikade 98 sebagai entitas bangsa Indonesia dan juga pelaku sejarah berdirinya reformasi, dimana salah satu cita-citanya adalah penegakan HAM, berkewajiban untuk mendukung segala gerak langkah penegakan HAM termasuk mengawal kinerja Tim PPHAM. (eriqn)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here