Hilirarisasi Sumber Daya Alam mulai menuai hasil dimasa yang akan datang mengingat pengelolaan bauksit lewat fasilitas smelter yang diperintahkan Presiden Jokowi dalam tahap proses dijalankan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berkolaborasi dengan Kementerian BUMN.
Bukan saja potensi penambahan pendapatan negara makin meningkat naik drastis, tetapi juga banyak negara-negara di dunia akan ketergantungan dengan Indonesia terlebih bagi para konsumen bauksit.
Lapangan kerja yang tercipta luas tentu akan menyerap komponen anak bangsa yang akan mulai memasuki dunia kerja, mengurangi jumlah pengangguran dan memutus mata rantai kemiskinan.
Pemerintah Indonesia dikabarkan bakal ketiban ‘durian runtuh’ atau dalam hal ini keuntungan yang lebih besar melalui ekspor nikel yang bernilai tambah dengan hilirisasi.
Hal ini adalah dampak dari aturan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Dengan dasar regulasi tersebut, pemerintah akan melakukan penyetopan ekspor bauksit ke luar negeri, terhitung pada Juni 2023.
Penyetopan ekspor bauksit itulah yang membuat pemerintah bisa mendapatkan nilai tambah dari hasil ekspor yang dilakukan melalui hilirisasi bauksit lewat fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter).
Bila Indonesia menjual hasil olahan bauksit ini atau setidaknya berupa alumina, maka penerimaan negara diperkirakan akan melejit hingga delapan kali lipat.
Menteri Investasi atau Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia menyebutkan, di tahun 2017-2018, nilai ekspor nikel hanya mencapai US 3,3 miliar. Hal itu karena Indonesia hanya melakukan ekspor bijih nikel tanpa dilakukan hilirisasi.
“Sekarang dengan kita menyetop ekspor nikel, nilai tambahan sampai dengan 2021 sudah mencapai US$ 20,9 miliar. Di tahun 2017-2018 itu hanya US$ 3,3 miliar,” ungkap Bahlil dikutip Sabtu (5/11/2022).
Sementara itu, Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif mengatakan, potensi penambahan pendapatan negara bisa melesat hingga delapan kali lipat dari hilirisasi bauksit menjadi alumina.
Dalam catatannya, Irwandy menyebutkan, pada 2021 harga bijih bauksit sekitar US$ 24 – US$ 30 per ton atau sekitar Rp 469.323 per ton. Hal itu menyumbang pendapatan negara sebesar US$ 628 juta atau setara dengan Rp 9,8 triliun (asumsi kurs Rp 15.646 per US$) dengan penjualan sebanyak 23 juta ton bijih bauksit.
Sementara bila dijual berupa alumina, penerimaan negara diperkirakan bisa melejit delapan kali lipat karena dengan asumsi harga alumina kini sekitar US$ 200-US$ 300 per ton.
Dengan asumsi penjualan pada volume yang sama saja, artinya penerimaan negara bisa melejit menjadi US$ 5 miliar atau sekitar Rp 79 triliun bila menjual dalam bentuk alumina.
“Dengan harga bijih bauksit itu kira-kira US$ 24-US$ 30 per ton itu kemarin tahun 2021. Kita menjual sekitar 23 juta ton itu sekitar US$ 628 juta. Itu sedemikian rupa, begitu angka ini akan melesat apabila kita berhasil menjadi alumina dari bijih bauksit dalam proses smelter bauksit grade alumina,” jelasnya.
Menurutnya, angka ini bisa kembali melambung bila Indonesia bisa memprosesnya lagi menjadi aluminium. Apalagi, lanjutnya, harga aluminium kini sudah mencapai sekitar US$ 2.000 per ton.(Irw13)
Dari berbagai sumber