Saya jarang menonton film Indonesia. Karena kebanyakan filmnya membuat saya kecewa. Mudah ditebak. Hiperbolis. Menjauh dari kenyataan. Pendek kata, recehan.

Tapi Sayap-Sayap Patah beda. Film ini dibentuk dengan beban emosional sutradaranya, Rudi Soejarwo. Ia mengalami momen tak terbahasakan dalam hidup. Sebagai anak polisi.

Semacam dendam kecil yang kerap mengganggu tidurnya.

Maka film ini adalah bayang-bayang Rudi Soejarwo. Kenangan yang mengendap. Rasa takut, benci dan kerinduan yang menyatu.

Ia bertaruh begitu banyak dalam film ini. Bukan hanya nama baik, tapi juga wasiat sang ayah. Janji yang harus dia tunaikan.

Rudi sedang bercerita sebagai dia yang mengalami. Maka jika kemudian film ini mengaduk-aduk emosi, menguras air mata, sudah semestinya. Karena Rudi sedang mengungkap apa yang umumnya tidak dipahami.

Sesuatu yang dianggap biasa oleh khalayak, tapi berbekas begitu dalam bagi orang yang menjalani. Rudi ingin membawa penonton ikut mengalami peristiwa yang tak cukup diungkapkan dengan kata-kata.

Film ini juga dibentuk dengan bingkai pemikiran Denny Siregar selaku produsernya. Denny, sebagaimana Rudi, juga adalah dia yang mengalami. Denny memvisualkan perjalanan panjangnya dalam memahami radikalisme.

Selama ini Denny dikenal sebagai salah satu tokoh yang getol menyuarakan perlawanan terhadap radikalisme dan terorisme. Ia kerap merobohkan simbol-simbol yang dikultuskan oleh mereka. Dan karenanya, dia dijadikan musuh bersama.

Denny membuka topeng simbol-simbol itu. Menunjukkan pada khalayak bahwa mereka itu profan, naif, bahkan bejat. Mereka sama tidak tahunya dengan orang kebanyakan.

Ia sampai pada pertanyaan, apakah manusia itu? Apa yang membuat seseorang bisa berubah menjadi sedemikian buas?

Film ini tidak hendak menghakimi. Tapi memberikan gambaran tentang dua kelompok yang sama-sama meyakini kebenaran. Mereka ada di kubu yang berlainan. Satu dan yang lain saling meniadakan.

Kebenaran itu sendiri akhirnya menjadi nisbi. Penontonlah yang akan menilai sendiri.

Ada sesuatu yang ganjil dalam film ini. Biasanya karakter patriotik itu digambarkan macho dan kekar. Apalagi tokoh yang diperankan adalah polisi yang biasa menembus malam, bergumul dengan bahaya.

Tapi aktor utama film ini adalah Nicholas Saputra, lelaki yang manis. Seseorang yang ketika kita memandangnya, akan jatuh hati dengan tatapan matanya, dengan kelembutan sikapnya.

Tapi Rudi sengaja mempertemukan dua unsur yang berbahaya. Sebab tokoh perempuan dalam film ini diperankan Ariel Tatum. Seorang gadis tegar, gagah dan terkesan pemberontak.

Perpaduan keduanya menjungkirbalikkan persepsi umum tentang maskulinitas. Yang kita temui dalam film ini adalah lelaki yang manis dan perempuan yang gagah.

Keduanya bergulat dalam satu tarikan napas. Terengah-engah berjuang memahami makna hidup dan pengorbanan. Dan dalam bergulirnya roda takdir itu, tidak ada yang patut disalahkan.

Satu perbuatan berdampak pada perbuatan lainnya. Satu pilihan selalu ada konsekuensinya.

Peran antagonis juga membuat saya terkejut. Iwa K yang dikenal murah senyum, innocent, tiba-tiba berubah menjadi buas. Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, saya terpaksa membencinya. Membenci sosoknya dalam film itu.

Tidak ada yang hitam-putih dalam film ini. Bahkan ketika membicarakan teroris, ada orang-orang baik yang terjebak di sana. Tidak semuanya binatang. Mereka pernah tersesat, tapi kemudian sadar dan mengambil sikap.

Memang ada banyak pertanyaan menggantung yang tak mungkin terjawab oleh durasi. Dan mungkin baru terbuka dalam sekuelnya nanti. Tapi film ini memang tidak bermaksud berhenti pada satu titik peristiwa.

Kerusuhan di Mako Brimob 2018 itu hanya gambaran. Yang ingin dimunculkan dalam film ini adalah peringatan, bahwa terorisme itu nyata. Ada dan terus bergerak dalam senyap di sekitar kita.

Selama ini propaganda pendukung teroris selalu menyuarakan sebaliknya. Kerusuhan di Mako Brimob misalnya, lima orang menjadi korban kebiadaban mereka. Tapi kabar bohong berkeliaran mengaburkan fakta.

Film ini adalah satu dari sedikit film Indonesia yang berhasil membuat saya termenung. Kekejian dan kemuliaan berkelindan. Baik dan buruk saling mengisi ruang.

Dan sebagaimana Gusdur, ketika menonton film ada saja peristiwa yang terlewat. Saya juga mengalami hal yang sama. Sebab saat menonton, saya sibuk dengan pikiran sendiri.

Karenanya, jika film ini sudah tayang di bioskop nanti, saya akan menontonnya sekali lagi. Memahami setiap kilatan peristiwa, menyambung satu benang merah dengan lainnya. Agar pesan dalam film ini menjadi gambaran utuh di kepala.

Itu berarti, saya juga harus siap menitikkan air mata untuk kedua kali. Bangsat memang Rudi dan Denny iniā€¦.

Kajitow Elkayeni

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here