Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, atau Jokowi, naik 36,7% selama delapan tahun masa pemerintahannya. Kenaikan tersebut jauh lebih kecil dibandingkan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai PDB atas dasar harga konstan 2000 pada awal pemerintahan Presiden SBY atau 2004 tercatat Rp 1.660,6 triliun.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produk domestik bruto (PDB) per kapita Indonesia tahun lalu mencapai Rp 71 juta, naik 69% selama delapan tahun era presiden Jokowi. Kenaikan ini lebih kecil dibandingkan periode sama SBY yang naik 234% atau lebih dari tiga kali lipat.
Kenaikan PDB per kapita era Jokowi tak setinggi saat SBY seiring pertumbuhan ekonominya yang juga relatif lebih lambat. Rata-rata pertumbuhan ekonomi selama delapan tahun pertama masa jabatan SBY mendekati 6%, sementara di era Jokowi hanya 4,01%.
Apa penyebabnya?
Pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat di era Jokowi juga tak lepas dari pandemi Covid-19 yang berlangsung sejak 2020. PDB pada 2021 anjlok 2,1% dan hanya tumbuh 3,69% pada 2021.
Pertumbuhan ekonomi di era Jokowi mencapai angka tertinggi pada tahun lalu sebesar 5,31%. Adapun era pemerintah SBY juga sebetulnya melewati guncangan yang berasal dari krisis keuangan global 2008.
Namun saat itu, perekonomian Indonesia tak banyak terpengaruh. Perekonomian hanya melambat dengan pertumbuhan masih di atas 4% pada 2009.
Agar lebih adil, mari membandingkan kinerja pertumbuhan ekonomi periode pertama dua presiden tersebut. Rata-rata pertumbuhan ekonomi di lima tahun pertama Jokowi sebesar 5,03%, ternyata masih lebih rendah dibandingkan SBY sebesar 5,6% yang saat itu sebetulnya sudah terimbas efek krisis keuangan 2008.
Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad menyebut pertumbuhan lebih lambat di era Jokowi seiring de-industrialisasi yang berjalan semakin cepat. Sumbangan sektor manufaktur ke perekonomian Indonesia terus menyusut dibandingkan era SBY.
“Ini semakin kelihatan sejak makin banyak perjanjian dagang yang kemudian menyebabkan bea impor 0%, walhasil industri di lama kelamaan tidak bisa bersaing dengan produk impor,” kata Tauhid, Kamis (9/2).
Senada, Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal juga menyebut sumbangan sektor manufaktur di era Jokowi semakin menyusut dibandingkan era SBY. Padahal, sektor ini cukup vital bagi perekonomian. Pertumbuhan kuat di sektor manufaktur jadi kunci dibalik kesuksesan beberapa negara maju di Asai seperti Jepang dan Korsel.
“Namun memang akhir-akhir ini di penghujung masa Presiden Jokowi mendorong adanya hilirisasi, ini sebetulnya salah satu upaya mendorong pertumbuhan sektor manufaktur,” kata Faisal.