Oleh: Nuryaman Berry Hariyanto*

BIADAB!!! Kata itu pantas disematkan kepada mereka yang menganiaya dan melakukan tindak kekerasan terhadap Ade Armando hingga mengalami luka serius di kepala saat terjadi aksi unjuk rasa di depan gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Senin, 11 April 2022.

Seperti tak punya rasa belas kasihan dan perikemanusiaan, massa cair yang awalnya terprovokasi oleh teriakan seorang ibu-ibu berjilbab itu tak hanya “membantai” Ade Armando, tapi juga berusaha menelanjangi Sang Dosen UI tersebut. Sungguh biadab!

Beruntung, aparat keamanan yang mendapat laporan segera bertindak cepat dengan mengevakuasi Ade Armando ke area dalam kompleks Parlemen dari amukan massa yang bertindak brutal bak kesetanan dan sudah mengarah menjadi anarcho.

Kalau saja terlambat mengevakuasi Ade Armando, mungkin ceritanya bisa lain. Bisa terjadi sesuatu yang lebih fatal.

Pertanyaannya, apakah memang seperti itu wujud aksi unjuk rasa yang mengatasnamakan kepentingan dan aspirasi rakyat? Lantas, di mana muatan moral force yang semestinya melekat dalam setiap aksi unjuk rasa mahasiswa.

Oh, ternyata ada yang bias. Belakangan ini, setiap aksi-aksi mahasiswa yang kontra Jokowi selalu mengundang massa dari masyarakat untuk bergabung.

Mungkin saja, hal ini dilakukan untuk menggelembungkan jumlah massa aksinya, sehingga saat memberikan laporan kepada “Sang Bohir” bisa diterima karena estimasi massa sudah sesuai target.

Padahal sudah bisa dipastikan, massa dari masyarakat tidak terdidik secara manajemen aksi. Yang ada mereka hanya menjadi massa cair yang mudah terprovokasi dan memprovokasi.

Lantas, sesungguhnya siapa menunggangi siapa? Apakah mahasiswa menunggangi masyarakat atau masyarakat yang menunggangi mahasiswa?

Atau, ada pertimbangan lain dari mereka para peserta demo yang turun ke jalan, senior-senior penggerak aksi yang selalu sembunyi di belakang layar, dan Sang Bohir yang menggerakan uangnya untuk kepentingan pribadinya?

Kalau dilihat dari dinamika lapangan yang berkembang, dalam beberapa paket aksi unjuk rasa anti Jokowi versi mereka, sepertinya mereka selalu bermimpi di siang bolong.

Mimpinya itu, suatu ketika akan ada aksi besar-besaran yang berujung chaos dan menimbulkan kerusuhan serta instabilitas di mana-mana sehingga bisa menjadi pintu masuk bagi mereka untuk mengambil alih kekuasaan secara inskonstitusional.

Hei, awas itu ilernya udah ke mana-mana. Kok ngimpi di siang bolong…

Bagi kelompok mereka, hanya cara itu yang bisa mereka lakukan untuk “membeli” mimpi merebut kekuasaan. Karena sebelumnya, sudah berkali-kali mereka menggunakan cara-cara normatif dan konstitusional, namun selalu gagal merebut.

Sekarang, mumpung ada bohir yang punya sejarah sakit hati kepada Jokowi dan mau menggelontorkan uangnya untuk membalas sakit hatinya, terciptalah persengkongkolan jahat. Dihimpun para elit busuk, aktivis disorientasi seta intelektual ngehe untuk berdiri dalam satu barisan yang sama.

Setelah itu, gerakan kantung-kantung mahasiswa bersama kumpulan-kumpulan masyarakat yang sepaham. Terakhir, ledakan di jalanan. Bermimpi terjadi revolusi. Mungkin, itulah pikiran yang ada di kepala mereka.

Tapi ingat, ini Indonesia bung! Siapa yang menabur angin, akan menuai badai. Untuk itu, aparat keamanan harus segera menangkap para pelaku kekerasan terhadap Ade Armando serta para aktor intelektual dan bohir yang menggerakan aksi tanpa visi yang selalu memancing instabilitas yang sudah berjilid-jilid ini.

Tak ada tempat bagi para perusuh dan begundal republik di negeri Nusantara ini!

*Waketum 1 Barikade’98

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here